“I just want you to love yourself. Because only then you can love others."
Film ini berhasil mengulik satu hal yang mungkin selama ini juga menjadi pertanyaan di dalam benak banyak orang, yaitu apakah semua Pengacara benar-benar bekerja untuk menegakkan keadilan? Karena seperti bagian di dalam persidangan selalu ada dua sisi yang bertarung di sana, yaitu pihak penuntut dan pihak tertuntut, sedangkan masing-masing sisi tersebut juga tidak sepenuhnya bersih. Dengan menggunakan pendekatan yang akan membawa kamu kembali merasakan hangat dan lembutnya film-film Korea Selatan, film ini mencoba bercerita tentang pertentangan yang terjadi di antara menjadi manusia “hukum” versus menjadi manusia yang punya hati nurani. Miracle in Cell No. 7? ‘Innocent Witness (Jeungin)’: a subtle examination about how beautiful every human created.
Yang Soon-ho (Jung Woo-sung) merupakan seorang Pengacara yang dikenal memiliki skill mumpuni dalam hal negoisasi, tidak heran ia menjadi salah satu Pengacara yang dibidik oleh pimpinannya, Byung-woo (Jung Won-joong) untuk dipersiapkan menjadi wajah bagi perusahaan mereka. Berita tersebut tentu merupakan sesuatu yang menggembirakan bagi Soon-ho karena ia memang sedang berusaha untuk melunasi hutang sang Ayah yang kini menderita penyakit parkinson, Kil-jae (Park Geun-hyung), sosok yang juga rajin mengingatkan Soon-ho agar segera menikah.
Soon-ho diminta menyelesaikan sebuah kasus pro bono di mana ia bertugas menjadi Pengacara bagi wanita bernama Oh Mi-ran (Yum Hye-ran). Mi-ran merupakan tertuduh pada kasus kematian majikannya yang tewas dalam kondisi terbungkus plastik sehingga Jaksa penuntut umum Hee-joong (Lee Kyu-hyung) mendakwa Mi-ran merupakan dalang utamanya. Namun pertempuran di pengadilan itu semakin menarik saat Im Ji-woo (Kim Hyang-gi) mulai terlibat. Dari kejauhan Ji-woo menyaksikan langsung peristiwa tersebut, namun yang menjadi rintangan adalah Ji-woo merupakan penderita autisme.
‘Innocent Witness’ akan sangat mudah untuk membuat penontonnya teringat dengan film ‘Miracle in Cell No. 7’ yang sempat booming tujuh tahun yang lalu, karakter utama adalah sosok dengan gangguan mental sedangkan di samping mereka berdiri Pengacara yang mencoba bertarung di ranah hukum. Tidak sepenuhnya sama memang namun dari segi tema mereka berada di kelas yang sama, yang membedakan adalah pendekatan yang coba diterapkan. Di sini Sutradara Lee Han (Thread of Lies) menyusun script bersama Moon Ji-won yang mencoba melakukan tackle terhadap betapa pentingnya peran perasaan dan hati nurani ketika berurusan dengan hukum. Cara yang mereka gunakan sederhana, yaitu sebuah u-turn bagi salah satu karakter.
Untuk mencapai titik tersebut Lee Han menampilkan dramatisasi yang terasa subtle, punya tampilan yang tampak lembut tapi secara perlahan ia terus dorong agar gejolak emosi tumbuh semakin besar di dalam karakter dan juga cerita. Sumbernya tentu saja ada pada pertentangan yang terjadi di dalam diri karakter utamanya, pertarungan antara logika dan perasaan yang membawanya masuk ke dalam situasi rumit. Tidak super rumit memang namun terdapat kompleksitas yang manis di sana terutama dibantu dengan setting terkait kondisi karakter utama yang juga sedang mengemban misi di dalam kehidupannya. Dan menyelesaikan tugas yang ia peroleh adalah salah satu opsi terbaik untuk dapat mencapai target misi tersebut tadi.
Dan itu adalah salah satu bagian terpenting yang juga terbaik dari film ini, momen ketika Yang Soon-ho seolah mulai didampingi oleh malaikat dan setan di kedua sisinya. Bagian tersebut juga menciptakan koneksi yang manis dengan satu bagian cerita yang sedari awal duduk manis menanti kesempatan tampil yang ia punya. Yaitu karakter Ji-woo yang sembari Soon-ho mencoba mengurai konflik utama dengan aksi penyelidikan yang juga terasa subtle kita para penonton dibawa oleh Ji-woo menyaksikan betapa penuh “warna” kehidupan yang ia punya. Penindasan yang ia dapat akibat keterbatasan yang ia punya dikemas dengan baik oleh Sutradara Lee Han, ada amarah yang timbul di dalam diri para penonton namun dalam kuantitas yang tidak terasa berlebihan.
Sutradara Lee Han sepertinya memang tidak mau kisah ini tampil terlalu eksploitatif, pendekatan yang ia terapkan adalah menggunakan keterbatasan Ji-woo sebagai jalan yang menuntun Soon-ho agar tetap berada di track yang positif. Tentu saja tidak melulu tentang Soon-ho, Lee Han juga dengan cara yang lembut sukses mendorong Ji-woo agar “perjuangan” yang selama ini ia lakukan bertemu dengan buah atau hasil yang positif pula, bagaimana tekanan yang selama ini Ji-woo dapat dan rasakan ketika berada di lingkungan yang menuntut ia untuk “tampak normal” terasa menyayat emosi. Cantiknya Lee Han tidak terpaku pada membuat kita selalu menaruh iba pada Ji-woo, kita dibawa pula untuk ikut merayakan pembuktian yang ia tunjukkan di pengadilan itu.
Ya, ada pergeseran fokus yang manis di sini yang pada awalnya bercerita tentang kasus kriminal lalu berkembang menjadi sebuah kisah tentang perayaan betapa indah setiap manusia diciptakan terlepas dari kekurangan dan keterbatasan yang mereka miliki. Jalan menuju ke sana adalah lewat pertentangan yang terjadi di dalam diri karakter antara menjadi manusia “hukum” sepenuhnya atau menjadi manusia yang punya hati nurani, begitupula dengan Ji-woo yang menolak untuk menjadi manusia lemah dengan cara berani mencoba menaklukkan rasa takut yang ia punya. Lee Han menata kombinasi tersebut tadi dengan cara yang manis, narasi berjalan lembut namun kesan mencengkeram itu tetap eksis, ia suntikkan beberapa humor tapi fokus penonton tetap pada gejolak emosi yang manis.
Dan tidak dapat dipungkiri keberhasilan Lee Han tersebut tidak terlepas dari performa akting yang ditampilkan oleh pada aktor. Sebagai mesin penggerak utama bagi cerita Jung Woo-sung (The Divine Move) tampil sangat baik sebagai seorang Pengacara yang sedang bertemu titik persimpangan di mana ia harus memilih. Pendekatan Soon-ho saat membangun koneksi dengan Ji-woo juga Woo-sung tampilkan dengan baik, tertata rapi dan subtle sampai tiba di momen ledakan itu. Momen yang juga menjadi panggung bagi Kim Hyang-gi membuat Ji-woo bersinar sangat terang setelah menampilkan ekspresi dan emosi yang cantik dari seorang anak perempuan dengan keterbatasan mental. Lee Kyu-hyung dan Jang Young-nam sesekali mencuri perhatian, tapi kinerja Yum Hye-ran jelas terasa memorable.
Overall, ‘Innocent Witness (Jeungin)’ adalah
film yang memuaskan. Sutradara Lee Han
bersama dengan timnya berhasil menyajikan sebuah alarm yang mengingatkan
kembali penonton pada sisi magis yang kerap kita temukan dari film-film drama
asal Korea Selatan. Dramatisasi yang
lembut namun diisi dengan emosi dalam kadar yang sangat besar serta kualitas
yang memikat, menempatkan penonton berjalan di samping karakter yang sedang
bertarung dengan konflik dan gejolak hati untuk kemudian bertemu dengan momen
puncak yang meninggalkan punch kuat.
Isu hukum memang menjadi bagian penting cerita tapi ‘Innocent Witness’ pada dasarnya adalah sebuah pemeriksaan tentang
betapa indahnya setiap manusia diciptakan oleh Tuhan.
“There is no one who never makes mistakes.” :)
ReplyDelete